Senin, 21 Maret 2016

MENGENAL PAKAIAN LITURGI DALAM GEREJA KATOLIK

Umat Katolik tentu saja menyaksikan, busana liturgi yang dikenakan Imam begitu beraneka ragam. Tidak hanya warna tetapi juga bentuknya. Busana ini tidak sekedar aksesoris dalam liturgi tetapi merupakan salah satu simbol yang tidak terpisahkan dari misteri yang dirayakan. Dengan imamat jabatannya dalam perayaan liturgi, Imam bertindak In Persona Christi (dalam pribadi Kristus), pakaian liturgi yang dikenakan Imam  ikut menegaskan peranan tersebut.  Pedoman Umum Misale Romanum menegaskan, “Gereja adalah Tubuh Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam perayaan Ekaristi tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan perayaan liturgis. (PUMR 335).

Tradisi Pakaian Litrugi merupakan warisan Perjanjian Lama. Harun dan keluarga yang diangkat Tuhan untuk menjadi Imam-Nya, diperintahkan untuk mengenakkan pakaian yang berbeda dengan umat Israel lainnya. Kepada Musa, Yahweh berfirman: “Haruslah engkau membuat pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai perhiasan kemuliaan. Haruslah engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya jabatan imam bagi-Ku.” (Kel 28:2-3)
Berikut ini, kami sampaikan secara sederhana dan ringkas tentang pakaian Liturgi, semoga bermanfaat.
1.       JENIS PAKAIAN LITURGI  
A.      AMIK


Amik adalah kain putih segi empat dengan dua tali di dua ujungnya atau ada juga model modern lain yang tidak segi empat dan tanpa tali. Amik yang melingkari leher dan menutupi bahu dan pundak itu melambangkan pelindung pembawa selamat (keutamaan harapan), yang membantu pemakainya untuk mengatasi serangan setan. Kain itu secara praktis juga berfungsi untuk menutupi kerah baju supaya tampak rapi, untuk menahan dingin, atau sekaligus untuk menyerap keringat agar busana liturgis pada zaman dulu yang biasanya amat indah dan mahal tidak mengalami kerusakan. Amik dikenakan oleh imam, diakon, atau petugas lain yang hendak mengenakan alba. Pemakaian amik sering tergantung juga pada alba yang akan dipakai. Kalau alba kiranya tidak menutup sama sekali kerah pakaian sehari-hari, maka barulah amik itu dikenakan sebelum alba (PUMR 336).

B.      ALBA
Pakaian putih (Latin: alba = putih) panjang; simbol kesucian dan kemurnian yang seharus-nya menaungi jiwa diakon/ imam yang me-rayakan liturgi, khususnya Pe-rayaan Ekaristi. Alba dengan warna putihnya itu sendiri secara simbolis mengingatkan kita akan komitmen baptis dan kebangkitan. Sebenarnya alba juga boleh dipakai untuk pelayan altar lainnya, bahkan—meski tidak lazim—untuk lektor dan pemazmur.

C.      SINGLE
Tali pengikat alba pada pinggang ini merupakan simbol nilai kemurnian hati (chastity) dan pengekangan diri. Biasanya berwarna putih atau sesuai dengan warna masa liturginya. Biasanya singel dipakai jika model alba membutuhkan-nya atau jika dipakai stola dalam (PUMR 336). Ada beberapa busana liturgis khusus untuk petugas yang ditahbiskan (klerus), yang tidak boleh dikenakan atau bahkan ditiru untuk petugas liturgis awam. Unsur busana khusus itu adalah stola, kasula, dalmatik, dan velum. Selain mengenakan beberapa unsur di atas sebelumnya (amik, alba, singel), beberapa unsur berikut ini kemudian melengkapi penampilan se- orang petugas yang ditah- biskan sesuai dengan kebu- tuhan perayaannya.

D.      JUBAH
Sudah amat lazim bahwa lektor—juga beberapa petugas liturgis lainnya, seperti pemazmur dan pembagi komuni, bahkan kelompok paduan suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya. Tidak ada aturan khusus untuk itu, juga tidak ada larangan untuk meneruskan kebiasaan itu. Namun perlu ditegaskan bahwa hal itu bukanlah keharusan, sehingga tidak ada kewajiban untuk mengadakannya. Justru, ketika awam atau petugas liturgis yang tidak ditahbiskan berperan dalam perayaan liturgis, sebaiknya ia tampil dengan busananya sendiri. Tentu saja busana yang layak dan sopan untuk ukuran publik. Lagipula, seringkali memakai jubah bagi mereka malah bisa mengundang pemikiran lain (baik secara asosiatif maupun estetis). Dengan kata lain, tidak semua orang cocok memakai jubah. Jelasnya, jubah yang sebenarnya diperuntukkan bagi lelaki tentunya jadi kelihatan aneh jika dikenakan perempuan

E.       SUPERPLI
Superpli merupakan pengganti alba, potongannya tidak sepanjang alba. Ber-warna putih. Superpli tidak sampai mata kaki, cukup sebatas lutut dengan perge-langan tangan yang cukup lebar. Tidak boleh sembarangan memakai superpli. Alba dapat diganti superpli, kecuali kalau dipakai kasula atau dalmatik, atau kalau stola menggan-tikan kasula atau dalmatik (PUMR 336). Dengan kata lain, jika memakai kasula dan dalmatik, imam dan diakon harus memakai alba, bukan superpli. Jika hanya memakai stola, maka imam dan diakon boleh memakai superpli di atas jubahnya.

F.       STOLA
Stola adalah semacam selendang panjang; simbol bahwa yang mengenakannya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja, terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Stola melambang-kan otoritas atau ke- wenangan dalam pelayanan sakra-mental dan berkhot-bah. Secara khusus, sesuai dengan doa ketika mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol kekekalan. Warnanya sesuai dengan warna masa liturgi pada saat perayaan dilangsungkan. Diakon memakainya menyilang, dari pundak kiri ke pinggang kanan. Imam memakainya dengan cara mengalungkannya di leher, dua ujung stola itu ke depan, dibiar-kan menggantung (PUMR 340). Dulu (sebelum pembaruan liturgis 1970), cara ini hanya untuk uskup atau abas, pejabat yang biasanya mengenakan kalung salib (pektoral) — kalung salib semacam itu pun sebenarnya tidak perlu diperlihatkan di atas kasula, dalmatik, atau pluviale, tapi boleh di atas mozzetta (lihat CE / Caeremoniale Episco-porum 61). Sedangkan para imamnya dulu mengalungkan stola dan kemudian menyilangkannya di depan. Sekali lagi, baik imam maupun uskup sekarang boleh mengenakan stola dengan cara yang sama (CE 66).

G.     KASULA
Kasula adalah busana khas untuk imam, khususnya selebran dan konselebran utama, yang dipakai untuk memimpin Perayaan Ekaristi. Kasula melambangkan keutamaan cinta kasih dan ketulusan untuk melaksanakan tugas yang penuh pengorbanan diri bagi Tuhan. Warnanya sesuai dengan warna liturgi untuk perayaannya. Model kasula mengalami beberapa perubahan dan variasi. Dari yang panjang dan mewah banyak hiasannya, lalu yang tampak minimalis dengan lengannya seperti terpotong, sampai yang sederhana polos. Hingga saat ini setidaknya ada dua macam model atau cara pemakaian stolanya. Kasula dengan stola dalam berarti memakai stolanya di dalam, tertutup kasula. Kasula dengan stola luar berarti stolanya di atas kasula.

H.     DALMATIK 
      Dalmatik dikenakan setelah stola diakon. Ini adalah busana resmi diakon tatkala bertugas melayani dalam Misa/Perayaan Ekaristi, khususnya yang bersifat agung/meriah. Busana ini melambang-kan sukacita dan kebaha-giaan yang merupakan buah-buah dari pengab-diannya kepada Allah. Warna atau motif dalmatik disesuaikan dengan kasula imam yang dilayaninya pada waktu Misa. Bentuk dalmatik seolah mirip kasula, namun sebenarnya mempunyai pola berbeda.Biasanya ada beberapa garis menghiasinya.

I.        VELUM
Velum adalah semacam kain putih/kuning/emas lebar yang dipakai pada punggung ketika
membawa Sakramen Mahakudus dalam prosesi (ingat saat pemindahan Sakramen Mahakudus pada bagian akhir Misa Pengenangan Perjamuan Tuhan, Kamis Putih malam!) dan memberi berkat dengan Sakramen Mahakudus. Memang unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat ber-kaitan dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau penghormatan kepada Sakramen Mahakudus. Kain semacam itu biasanya dihiasi. Ada juga yang tanpa hiasan, namun dipakai untuk mem-bawa tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup itu biasanya berwarna putih saja.

J.        PLUVIALE
Ini semacam mantel panjang (Latin: pluvia = hujan) yang digunakan di luar Perayaan Ekaristi dan dalam perarakan liturgis, atau perayaan liturgis lain yang rubriknya menuntut digunakan busana itu (misalnya untuk liturgi pemberkatan). Kita bisa melihatnya — meski sudah jarang — jika imam mengenakannya dalam perarakan sebelum Misa Minggu Palma. Jenis busana ini memang tidak langsung berkaitan dengan Misa, tapi sering digunakan sebelum Misa itu sendiri.

2.       WARNA-WARNA LITURGI
Keanekaragaman warna busana liturgis dimaksudkan untuk mengungkapkan secara lahiriah dan berhasil guna ciri khas misteri iman yang dirayakan; dalam kerangka tahun liturgi, kebhinekaan warna busana liturgis juga dimaksudkan untuk mengungkapkan makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan Kristen (PUMR 345).
Warna-warna yang masih berlaku sesuai dengan ketentuan PUMR 346 adalah:
A.      putih: untuk Masa Paskah, Natal, perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya), pesta Maria, para malaikat, orang kudus yang bukan martir, Hari Raya Se-mua Orang Kudus (1 November), kelahiran St. Yohanes Pembaptis (24 Juni), Pesta Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta St. Petrus Rasul (22 Februari), dan Pesta Bertobatnya St. Paulus Rasul (25 Januari). Warna putih juga bisa dipakai untuk Misa Ritual (PUMR 347);
B.      merah: untuk Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, perayaan Sengsara Tuhan, pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Yohanes), perayaan para martir;
C.      hijau: untuk Masa Biasa sepanjang tahun;
D.      ungu: untuk Masa Adven dan Prapaskah, dan Liturgi Arwah; [5] hitam: untuk Misa Arwah, meskipun kini sudah jarang digunakan;
E.        jingga: untuk hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan Laetare (Minggu Prapaskah IV), jika memang sudah biasa.

Selain ketentuan universal di atas, PUMR memberikan ruang bagi Konferensi Uskup untuk menentukan perubahan-perubahan arna yang dinilai lebih serasi dengan keperluan dan kekhasan bangsa setempat. Penyerasian-penyerasian itu hendaknya diberitahukan kepada Takhta Apostolik.
Dalam perayaan Misa Ritual digunakan warna liturgi yang ditentukan untuk perayaan yang bersangkutan, atau putih, atau warna pesta; dalam Misa untuk pelbagai keperluan digunakan warna liturgi yang sesuai dengan hari atau masa liturgi yang bersangkutan, atau dengan warna ungu bila perayaan bertema tobat seperti misalnya Misa di masa perang atau pertikaian, Misa di masa kelaparan, Misa untuk memohon pengampunan dosa; Misa Votif dirayakan dengan warna yang cocok dengan tema Misa yang bersangkutan, atau boleh juga dengan warna hari/masa liturgi yang bersangkutan.

3.       BUSANA UNTUK AWAM JANGAN SAMA DENGAN KLERUS

Mungkin kita pernah melihat bahwa seorang bapak pembagi komuni berbusana mirip seorang imam, dengan memakai “semacam stola”; atau mirip seorang uskup, lengkap dengan jubah putih dan singel ungu (karena masa Prapaskah atau Adven), beserta salib pektoralnya. Wow! Instruksi Redemptionis Sacramentum mengingatkan bahwa “umat awam tidak pernah boleh bertindak atau berbusana liturgis seperti seorang imam atau diakon, atau memakai busana yang mirip dengan busana dimaksud” (RS 152). Maksud larangan itu adalah untuk menghindari kerancuan simbolis, atau terutama untuk tidak mengaburkan apa yang menjadi tugas khas masing-masing (RS 151).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar