Visi utama Presiden Indonesia ke-7, Jokowi adalah Restorasi
Indonesia dan Revolusi Mental. Secara kasat mata hal itu sudah dilakukan beliau
selama menjadi Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Blusukan ke mana-mana,
memberikan sanksi kepada petugas birokrasi yang mempersulit pengurusan
administrasi kependudukan, tidak menerima gaji, dan masih banyak lagi.
Nilai plus yang harus diberikan kepada Jokowi adalah beliau
melakukan sendiri terlebih dahulu sebelum mengajak orang lain melakukannya. Paulus
VI dalam ajaran sosial Evangelii Nuntiandi artikel 6 mengatakan masyarakat zaman ini lebih percaya dengan
apa yang dilakukan daripada apa yang dikatakan.
Kendati demikian, tidak untuk bersikap pesimistis,
melakukan revolusi mental sama dengan
mengurai benang yang sudah sangat kusut. Mental bangsa ini terlanjur dicemari arus
pragmatisme yang menggilas habis nilai-nilai budaya bangsa dan idealisme
perjuangan yang seharusnya menjadi orientasi seluruh pembangunan.
Hemat saya, ada 5 komponen yang menjadi target utama
revolusi. Secara hirarkis 5 komponen tersebut adalah: Aparatur negara,
pendidikan, media elektronik (TV), masyarakat dan keluarga.
Secara sengaja saya meletakan revolusi mental aparatur
negara pada nomor urut pertama karena mendesak dan menjadi pijakan untuk
melakukan revolusi lainnya. Revolusi dimulai dari sistem perekrutan, penempatan
hingga penanaman nilai kerja itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum, ‘jatah’
dan ‘uang’ masih menjadi faktor penentu utama seleksi penerimaan dan penempatan
kerja. Naifnya tidak sedikit pendidik yang menempuh jalan ini. Tidak
tanggung-tanggung, salah satu teman saya harus merogoh kocek sampai 100 juta rupiah
untuk bisa diterima menjadi PNS (Guru) dan ditempatkan di kota.
Penanaman nilai kerja merupakan satu hal penting yang
tidak bisa dianggap sepeleh. Sikap pragmatis yang melihat ‘kerja’ hanya sebagai
sarana untuk mendapatkan ‘bayaran’ telah merusak mental banyak aparatur negara.
Benediktus XVI dalam ajaran sosial Motu
Proprio Data menyoroti sekularisasi kerja. Kerja direduksi sebagai
aktivitas duniawi hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan duniawi. Benediktus
XVI mengajak masyarakat dunia untuk memaknai kerja sebagai aplikasi iman. Kerja
adalah amanah, kerja adalah panggilan.
Komponen kedua yang harus direvolusi adalah
pendidikan. Mungkin banyak yang tidak setuju mengapa revolusi pendidikan saya
letakan pada nomor yang kedua. Satu hal yang patut menjadi dasar pemikiran
adalah sistem pendidikan kita dikuasai oleh negara. Mulai dari regulasi sampai isi
pembelajaran di sekolah itu sendiri. Karena itu pendidikan selalu bersentuhan
dengan aparatur negara Departemen Pendidikan yang tentu saja tidak jauh berbeda
dengan yang lain ‘doyan upeti.’ Jika mental aparaturnya tidak lebih dahulu direvolusi
maka faktor ‘keteladanan’ seperti yang telah ditunjukan Jokowi dan dinyatakan
secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dengan Perubahannya
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 19 ayat 2 tidak dapat berjalan.
Revolusi yang paling utama dalam pendidikan adalah
orientasi pendidikan itu sendiri. Tidak bisa disangkal dunia pendidikan pun
telah dikuasai paradigma pragmatis. Faktor ‘utility’ terutama kesiapan memasuki
dunia kerja kadang menjadi kepedulian utama pengelola pendidikan selain
tuntutan orang tua/wali murid. Lembaga pendidikan menjadi tidak ada bedanya
dengan tempat kursus/pelatihan maupun tempat bimbingan belajar. Kriteria utama lembaga
pedidikan unggul direduksi hingga lulus ujian nasional 100%, dapat melanjutkan
jenjang pendidikan yang lebih tinggi tanpa tes, dan di cakap dalam bekerja.
Pelaku pendidikan telah meninggalkan hal
hakiki dalam pendidikan yakni pembentukan kepribadian atau dalam bahasa Orde
Baru disebut pembangunan manusia seutuhnya. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan dengan sangat baik, bahwa “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban...”
(Pasal 3). Namun tanpa ada revolusi paradigma pendidikan yang benar rumusan
yang indah itu tetap menjadi rumusan tanpa makna.
Komponen ketiga yang patut direvolusi adalah media
elektronik khususnya televisi. Piramida penyerapan informasi Dr. Vernon A.
Magneson menunjukkan bahwa penyerapan informasi melalui audio-visual lebih
besar dibanding dengan hanya melalui audio saja. Jika dengan Audio saja audiens
hanya bisa menyerap sekitr 10 % informasi maka dengan audio-visual audiens bisa
menyerap hingga 30 % informasi. Hal ini membuat kita bisa berpikir bahwa pengaruh
dari ‘sinetron’ dan ‘infotaiment’ jauh lebih besar daripada ceramah Guru di
kelas, Khotbah Imam di Masjid, Homili Pastor atau Pendeta di Gereja, maupun
ceramah Pendeta Hindu dan Budha di Pura maupun Vihara.
Yang memprihatinkan kedua acara Televisi tersebut
belum bisa dijadikan sarana pendidikan. Justru yang ditonjolkan adalah perilaku
jahil, balas dendam, geng-geng sekolah, perlakuan kejam dan jahat terhadap
orang lain, balas dendam, ngerumpi, membeberkan kehidupan pribadi orang ke
publik secara vulgar hingga gosip dan fitnah. Naifnya lagi acara-acara ini kebanyakan
ditayangkan pada prime time, yang ditonton oleh banyak anak.
Kita tidak mengharapkan semua media televisi
menjadi seperti Metro TV atau TV One. Setiap media TV sudah pasti memiliki
kekhasan sebagai brand di masyarakat. Yang harus direvolusi adalah mindset
pengelola. Apakah hanya untuk rating dan iklan atau ada nilai-nilai luhur lain
yang hendak diperjuangkan. Betapa beratnya merevolusi mental bangsa ini jika
sejak kecil kita sudah disuguhi dengan informasi-informasi negatif yang merusak
mental.
Bagi Jokowi seorang diri, revolusi mental
tidaklah sulit. Toh beliau telah membuktikannya di Solo dan Jakarta. Namun
untuk mengajak semua komponen bangsa untuk melakukan revolusi mental adalah
pekerjaan yang tidak mudah. Karena itu dukungan semua pihak terhadap gerakan ini
menjadi ‘harga mati’ yang tidak bisa ditawar. PR ini juga menjadi ujian bagi
Jokowi. Derasnya gelombang dukungan terhadap Jokowi salah satunya karena
keteladanannya dalam merevolusi mental aparat di Solo dan Jakarta. Masyarakat
Indonesia mengharapkan komitmen yang sama. Semoga kekecewaan masyarakat
terhadap ‘iklan’ Anti Korupsi Demokrat tidak diperparah oleh ajakan pembangunan
nilai dan tradisi baru Jokowi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar