PR terberat
(dan tentu saja penting) Jokowi-JK tiga tahun ke depan adalah merevolusi mental
masyarakat Indonesia. Dengan nada agak pesimis, Kompas edisi Senin 20 Juni
2011, hal 1 mengatakan “Kerusakan moral bangsa ini sudah dalam tahap yang
sangat mencemaskan karena terjadi hampir di semua lini, baik di birokrasi
pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat umum. Jika kondisi ini
dibiarkan, negara bisa menuju ke arah kehancuran...” Senada dengan itu, editorial
Media Indonesia, Kamis 29 Juni 2014 bahkan menegaskan tanpa revolusi mental
Indonesia bakal menjadi ‘Negara gagal’.
Kendati
kedua media besar ini tidak memberikan solusi bagaimana caranya agar Indonesia bisa
terhindar dari kehancuran dan atau kegagalan sebagai negara, persoalan dan ancaman
yang disampaikan adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri. Arnold Toynbee
seperti yang dikutip Thomas Lickona dalam bukunya Character Matters
menandaskan, “Dari dua puluh satu peradapan dunia yang dapat dicatat, sembilan
belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan
moral dari dalam.” Maka ajakan Capres Jokowi untuk Restorasi Indonesia dan
Revolusi mental bersifat sangat mendasar dan mendesak.
Persoalannya,
dari mana dan dengan chanel apa revolusi mental masyarakat dimulai?
Pertanyaan
ini sangat patut diajukan mengingat permasalahan yang muncul di masyarakat sebagai
akibat dari dekadensi mental begitu kompleks. Sebut saja, mental instan, lemahnya
daya juang, mementingkan hasil-mengabaikan proses, premanisme, primordialisme
agama-suku, dan masih banyak lagi.
Thomas
Lickona mengatakan ada dua nilai fundamental yang harus diperhatikan yakni rasa
hormat (respect) dan tanggung jawab (Responsibility). Revolusi mental
masyarakat bisa dimulai pada dua nilai ini.
Revolusi
untuk merevitalisasi nilai ‘rasa hormat’ akan menyelesaikan banyak persoalan
dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi jika nilai rasa hormat pertama-tama ditujukan
kepada Tuhan sebagai yang empu-Nya manusia dan alam semesta, maka persoalan-peroslan
horisontal yang diakibatkan oleh intoleransi niscaya tidak terjadi.
Revolusi
ini diarahkan untuk membangun kesadaran (awarenes) masyarakat bahwa manusia dan
alam semesta dengan segala keanekaragamannya diciptakan oleh Tuhan, maka
menghormati keanekaragaman merupakan sebuah penghormatan kepada Yang
Menciptakan keaneragaman tersebut. Jika Revolusi Jokowi hingga mencapai titik
ini maka persoalan seperti penyegelan rumah ibadat, sulitnya mendapatkan ijin
pembangungan rumah ibadat, dan persoalan intoleransi keagamaan lainnya tidak
akan terjadi.
Demikian
juga yang berhubungan dengan primordialisme suku/bangsa. Kita bisa memilih
profesi guru, dokter, pengacara, dll. Namun kita tidak bisa memilih menjadi
orang jawa atau Sumatra, menjadi orang Flores atau Sulawesi, menjadi orang keturunan
Cina atau Papua, menjadi orang Timor atau Maluku. Ini adalah sebuah keterberian
yang tidak bisa kita tolak. Ini adalah karya Tuhan. Jika kita percaya pada
Tuhan, dan mengakui semua yang ada adalah karya tangan-Nya, maka satu-satunya
tugas kita adalah hormat.
Kesadaran
tersebut di atas juga diharapkan akan membawa serta penghormatan terhadap pribadi
manusia. Pembunuhan, bunuh diri, pemerkosaan, perdagangan manusia, pelecehan
seksual terhadap anak di bawah umur dan persoalan sejenisnya adalah gambaran
rendahnya rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi. Jika semua masyarakat
bangsa ini memiliki kesadaran yang sama seperti yang tersebut di atas, hemat
saya tidak ada lagi perdebatan tentang hukuman mati. Semua akan sepakat
‘menolak hukuman mati’.
Rasa
hormat kepada Tuhan yang berimplikasi rasa hormat kepada keanekaragaman agama
dan suku serta pribadi manusia sudah sepatutnya mengantar pribadi-pribadi ‘yang
terhormat’ untuk menghormati lingkungan alam di sekitarnya. Pembabatan hutan, eksploitasi
sumber daya alam, eksploitasi hewan-hewan tertentu untuk kepentingan ekonomi
(topeng monyet, gajah, dll) dan persoalan-persoalan sejenis diharapkan dapat
teratasi. Global warming pada tempat pertama pantas direfleksikan sebagai
teguran dari Yang Mahakuasa atas penyalahgunaan wewenang manusia atas alam
semesta seperti yang tertulis dalam Genesis.
Yang
terakhir dari nilai fundamental rasa hormat ini adalah rasa hormat terhadap hak
milik orang lain. Jika ‘itu’ adalah hak milik negara maka serahkan kepada
negara, jika ‘itu’ hak milik rakyat maka serahkan kepada rakyat, jika ‘itu’ milik
tetanggal maka serahkanlah kepada tetangga, dst. Jika semua ini terbangun maka
niscaya tidak ada korupsi, tidak ada perampokan, tidak ada maling, tidak akan
ada penjarahan, semua akan saling menjaga dan melindungi.
Nilai
fundamental kedua yang harus dibangun Jokowi dalam revolusi mental masyarakat
adalah tanggung jawab (responsibility). Tanggung
jawab akan menjadi dasar nilai-nilai yang dijujunng tinggi di masyarakat namun sangat
sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, disiplin, kejujuran,
rasa memiliki, dll.
Masyarakat
yang bertanggung jawab akan meluangkan waktu untuk datang ke kantor Samsat dan
mengikuti semua prosedur untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi. Masyarakat
yang bertanggung jawab siap untuk disidang di pengadilan ketika ditilang aparat
karena tidak mentaati peraturan lalulintas dan tidak menghiraukan tawaran
‘oknum aparat’ untuk diselesaikan di tempat kejadian.
Pada
tingkatan yang lebih tinggi masyarakat yang bertanggung jawab akan peka
terhadap problem-problem bangsa dan pada tatarannya sendiri-sendiri menempatkan
diri pada posisi sebagai solusi dan bukan trouble maker atau yang memperkeruh
persoalan. Masyarakat kita bisa dikelompokkan sebagai masyarakat sadar hukum,
sadar politik, sadar ekonomi, sadar pendidikan, dll, pada tatarannya
sendiri-sendiri bertanggung jawab untuk memajukan bangsa dan atau menemukan
solusi dalam bidangnya masing-masing.
Revolusi
masyarakat minimal menyentuh 2 (dua) nilai fundamental ini. Nilai-nilai lainnya
bisa ditumbuhkembangkan setelah kedua nilai ini berakar dalam diri masyarakat.
Namun yang tetap menjadi persoalan sampai sekarang adalah melalui chanel apa
revolusi mental masyarakat dilaksanakan. Revolusi mental 3 (tiga) komponen
bangsa dalam tulisan sebelumnya relatif lebih mudah karena lebih terorganisir.
Namun
jika restorasi Indonesia dan Revolusi mental ini oleh semua pihak dinilai
sebagai hal yang sangat dibutuhkan dan sangat mendesak maka gerakan ini menjadi
gerakan seluruh lapisan masyarakat. Masing-masing kita dengan cara kita
masing-masing sesuai dengan konteks di mana kita berada. Namun jika hendak
dilakukan secara lebih terorganisir maka jalur agama adalah salah satu jalan
yang ideal.
Ilmuwan Romawi,
Marcus Tulius Cicero (106-43 SM) mengatakan “Kesejahteraan sebuah bangsa
bermula dari karakter kuat warganya.” Mari kita sonsong Indonesia sejahtera
dengan pembangunan mental masyarakatnya. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,
untuk Indonesia raya,” kata W. R. Supratman, dalam lagi Kebangsaan Indonesia
Raya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar