(Yer 17:5-10; Luk 16:19-31)
Hari ini, Kamis,
25 Februari 2016, pekan II prapaskah.
Bacaan-bacaan
Kitab Suci hari ini, sangat indah untuk direnungkan. Firman Tuhan dengan gamblang menegur setiap
orang, terutama saya secara pribadi, yang sering lebih mengandalkan kemampuanku
sendiri, mengandalkan orang-orang yang dalam pandangan saya mampu menyelesaikan
persoalan-persoalanku, mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan
ilmu-ilmu lain yang menurut saya dapat diandalkan.
Bacaan pertama yang
berisi semacam kumpulan pepatah kebijaksanaan, menohok dengan keras. "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia,
yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada
TUHAN!” Dalam banyak hal saya menyepelehkan Tuhan. Pertimbangan utama ketika
merencanakan sesuatu, mengambil sebuah keputusan, melaksanakan tugas sehari-hari,
berbicara, maupun bersikap kepada sesama adalah hasil, konsekuensi sosial, ataupun
konsekuensi hukum. Tuhan tidak masuk dalam pertimbangan. Bahkan Tuhan jarang
kuingat ketika melakukan semua itu. Nabi Yeremia sungguh menyadarkan saya, tanpa
campur tangan Tuhan, tanpa berkat Tuhan, mungkinkah semua itu dapat terlaksana? Melalui orang-orang
pilihan-Nya, Allah memang telah mengingatkan. “Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau besok kami
berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang
serta mendapat untung", sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok.
Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan
lalu lenyap.” (Yak 4:13-14).
Sungguh ini
sebuah tamparan keras, tetapi puji Tuhan sungguh membangunkan saya dari keterlelapan
‘kesombongan’ yang sangat tidak berguna. Kekuatan orang-orang yang kuandalkan,
kemampuanku, apalah artinya itu di hadapan Tuhan? Lebih konyol lagi aku bahkan
lupa bahwa orang-orang di sekitarku, kemapuanku adalah pemberian bahkan lebih
pasnya ‘milik’ Tuhan, yang bisa diambil-Nya kapan saja. Lalu apa yang bisa
kubanggakan dari semua itu? Nabi Yeremia mengingatkan, dengan mengandalkan itu “Ia akan seperti semak bulus di padang
belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di
tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk”
(17:6).
Peringatan keras
Nabi Yeremia digambarkan oleh Yesus dengan perumpamaan yang indah, “Lazarus dan
Orang Kaya.” Saya merenungkan perumpamaan ini tidak dalam dikotomi kaya dan
miskin, melainkan dalam polaritas YANG
MENGANDALKAN TUHAN vs MENGANDALKAN
DIRI SENDIRI.
Lazarus yang
miskin menggantungkan hidupnya pada kemurahan Tuhan, melalui remah-remah yang
jatuh dari meja si kaya. Namun orang kaya mengandalkan semua yang dimilikinya. Dan
hasilnya: “Kemudian matilah orang miskin itu,
lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham” (16:22). Hal yang
digarisbawahi adalah bahwa ketika meninggal dunia Lazarus dibawah oleh malaikat-malaikat
ke pangkuan Abraham. Sementara penggambaran tentang meninggalnya orang kaya itu
sangat berbeda. “Orang kaya itu juga
mati, lalu dikubur” (16:23). Kubur identik dengan maut, sama dengan dunia
orang mati, siksa dosa.
Apa yang
diperoleh Lazarus dan si orang kaya setelah kematian mereka, dijelaskan Yesus melalui
jawaban Abraham terhadap permintaan orang kaya malang itu. “Kata
Abraham kepadanya: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi,
mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari
antara orang mati." (16:31).
Kesaksian Yeremia hari ini amat gamblang. Jawaban
Abraham telah menegaskan kepada kita, terutama saya, apakah mau mendengarkan
kesaksian Yeremia, atau tidak mempedulikannya. Hasilnya, sudah digambarkan
Yesus.
Semoga Tuhan menolong kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar