Umat Katolik tentu saja menyaksikan, busana liturgi yang dikenakan Imam begitu
beraneka ragam. Tidak hanya warna tetapi juga bentuknya. Busana ini tidak sekedar
aksesoris dalam liturgi tetapi merupakan salah satu simbol yang tidak
terpisahkan dari misteri yang dirayakan. Dengan imamat jabatannya dalam
perayaan liturgi, Imam bertindak In
Persona Christi (dalam pribadi Kristus), pakaian liturgi yang dikenakan Imam
ikut menegaskan peranan tersebut. Pedoman Umum Misale Romanum menegaskan, “Gereja adalah Tubuh
Kristus. Dalam Tubuh itu tidak semua anggota menjalankan tugas yang sama. Dalam
perayaan Ekaristi tugas yang berbeda-beda itu dinyatakan lewat busana liturgis
yang berbeda-beda. Jadi, busana itu hendaknya menandakan tugas khusus
masing-masing pelayan. Di samping itu, busana liturgis juga menambah keindahan
perayaan liturgis.” (PUMR 335).
Tradisi Pakaian Litrugi
merupakan warisan Perjanjian Lama. Harun dan keluarga yang diangkat Tuhan untuk
menjadi Imam-Nya, diperintahkan untuk mengenakkan pakaian yang berbeda dengan
umat Israel lainnya. Kepada Musa, Yahweh berfirman: “Haruslah engkau membuat
pakaian kudus untuk Harun, saudaramu, sebagai perhiasan kemuliaan. Haruslah
engkau mengatakan kepada semua orang yang ahli, yang telah Kupenuhi dengan roh
keahlian, membuat pakaian Harun, untuk menguduskan dia, supaya dipegangnya
jabatan imam bagi-Ku.” (Kel 28:2-3)
Berikut ini, kami
sampaikan secara sederhana dan ringkas tentang pakaian Liturgi, semoga
bermanfaat.
1. JENIS PAKAIAN LITURGI
A. AMIK
B. ALBA

C. SINGLE

D. JUBAH
Sudah amat lazim bahwa lektor—juga
beberapa petugas liturgis lainnya, seperti pemazmur dan pembagi komuni, bahkan
kelompok paduan suara—mengenakan jubah atau busana semacamnya. Tidak ada aturan
khusus untuk itu, juga tidak ada larangan untuk meneruskan kebiasaan itu. Namun
perlu ditegaskan bahwa hal itu bukanlah keharusan, sehingga tidak ada kewajiban
untuk mengadakannya. Justru, ketika awam atau petugas liturgis yang tidak
ditahbiskan berperan dalam perayaan liturgis, sebaiknya ia tampil dengan
busananya sendiri. Tentu saja busana yang layak dan sopan untuk ukuran publik.
Lagipula, seringkali memakai jubah bagi mereka malah bisa mengundang pemikiran lain
(baik secara asosiatif maupun estetis). Dengan kata lain, tidak semua orang
cocok memakai jubah. Jelasnya, jubah yang sebenarnya diperuntukkan bagi lelaki
tentunya jadi kelihatan aneh jika dikenakan perempuan
E. SUPERPLI

F. STOLA
Stola adalah semacam selendang panjang;
simbol bahwa yang mengenakannya sedang melaksanakan tugas resmi Gereja,
terutama menyangkut tugas pengudusan (imamat). Stola melambang-kan otoritas
atau ke- wenangan dalam pelayanan sakra-mental dan berkhot-bah. Secara khusus,
sesuai dengan doa ketika mengenakan-nya, stola dimaknai sebagai simbol
kekekalan. Warnanya sesuai dengan warna masa liturgi pada saat perayaan
dilangsungkan. Diakon memakainya menyilang, dari pundak kiri ke pinggang kanan.
Imam memakainya dengan cara mengalungkannya di leher, dua ujung stola itu ke
depan, dibiar-kan menggantung (PUMR 340). Dulu (sebelum pembaruan liturgis
1970), cara ini hanya untuk uskup atau abas, pejabat yang biasanya mengenakan
kalung salib (pektoral) — kalung salib semacam itu pun sebenarnya tidak perlu
diperlihatkan di atas kasula, dalmatik, atau pluviale, tapi boleh di atas
mozzetta (lihat CE / Caeremoniale Episco-porum
61). Sedangkan para imamnya dulu mengalungkan stola dan kemudian
menyilangkannya di depan. Sekali lagi, baik imam maupun uskup sekarang boleh
mengenakan stola dengan cara yang sama (CE 66).
G. KASULA

H. DALMATIK

I.
VELUM
Velum adalah semacam kain
putih/kuning/emas lebar yang dipakai pada punggung ketika
membawa Sakramen
Mahakudus dalam prosesi (ingat saat pemindahan Sakramen Mahakudus pada bagian
akhir Misa Pengenangan Perjamuan Tuhan, Kamis Putih malam!) dan memberi berkat
dengan Sakramen Mahakudus. Memang
unsur busana ini tidak dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun sangat ber-kaitan
dengan Sakramen Ekaristi, yakni dalam adorasi atau penghormatan kepada Sakramen
Mahakudus. Kain semacam itu biasanya dihiasi. Ada juga yang tanpa hiasan, namun
dipakai untuk mem-bawa tongkat gembala dan mitra uskup, ketika seorang uskup
memimpin Perayaan Ekaristi meriah. Velum untuk tongkat dan mitra uskup itu
biasanya berwarna putih saja.
J.
PLUVIALE
2. WARNA-WARNA LITURGI
Keanekaragaman warna busana liturgis dimaksudkan untuk mengungkapkan
secara lahiriah dan berhasil guna ciri khas misteri iman yang dirayakan; dalam
kerangka tahun liturgi, kebhinekaan warna busana liturgis juga dimaksudkan
untuk mengungkapkan makna tahap-tahap perkembangan dalam kehidupan Kristen (PUMR 345).
Warna-warna yang masih berlaku sesuai dengan ketentuan PUMR 346 adalah:
A. putih: untuk Masa Paskah, Natal, perayaan-perayaan Tuhan Yesus
(kecuali peringatan sengsara-Nya), pesta Maria, para malaikat, orang kudus yang
bukan martir, Hari Raya Se-mua Orang Kudus (1 November), kelahiran St. Yohanes
Pembaptis (24 Juni), Pesta Yohanes Pengarang Injil (27 Desember), Pesta St.
Petrus Rasul (22 Februari), dan Pesta Bertobatnya St. Paulus Rasul (25
Januari). Warna putih juga bisa dipakai untuk Misa Ritual (PUMR 347);
B. merah: untuk Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, perayaan
Sengsara Tuhan, pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Yohanes),
perayaan para martir;
C. hijau: untuk Masa Biasa sepanjang tahun;
D.
ungu: untuk Masa Adven dan
Prapaskah, dan Liturgi Arwah; [5] hitam:
untuk Misa Arwah, meskipun kini sudah jarang digunakan;
E.
jingga: untuk hari Minggu Gaudete (Minggu Adven III) dan Laetare (Minggu Prapaskah IV), jika
memang sudah biasa.
Selain ketentuan universal di atas, PUMR memberikan ruang
bagi Konferensi
Uskup untuk menentukan
perubahan-perubahan arna yang dinilai lebih serasi dengan keperluan dan kekhasan bangsa setempat.
Penyerasian-penyerasian itu hendaknya diberitahukan kepada Takhta Apostolik.
Dalam perayaan Misa Ritual digunakan warna liturgi yang ditentukan untuk
perayaan yang bersangkutan, atau putih, atau warna pesta; dalam Misa untuk
pelbagai keperluan digunakan warna liturgi yang sesuai dengan hari atau masa
liturgi yang bersangkutan, atau dengan warna ungu bila perayaan bertema tobat
seperti misalnya Misa di masa perang atau pertikaian, Misa di masa kelaparan,
Misa untuk memohon pengampunan dosa; Misa Votif dirayakan dengan warna yang
cocok dengan tema Misa yang bersangkutan, atau boleh juga dengan warna
hari/masa liturgi yang bersangkutan.
3. BUSANA UNTUK AWAM JANGAN
SAMA DENGAN KLERUS
Mungkin kita pernah melihat bahwa
seorang bapak pembagi komuni berbusana mirip seorang imam, dengan memakai
“semacam stola”; atau mirip seorang uskup, lengkap dengan jubah putih dan
singel ungu (karena masa Prapaskah atau Adven), beserta salib pektoralnya. Wow!
Instruksi Redemptionis Sacramentum
mengingatkan bahwa “umat awam tidak pernah boleh bertindak atau berbusana
liturgis seperti seorang imam atau diakon, atau memakai busana yang mirip
dengan busana dimaksud” (RS 152). Maksud larangan itu adalah untuk menghindari
kerancuan simbolis, atau terutama untuk tidak mengaburkan apa yang menjadi
tugas khas masing-masing (RS 151).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar