Minggu, 19 November 2017

ARUS UTILITARIAN DAN PENDIDIKAN KARAKTER

Dalam sebuah Pembinaan Rohani dan Mental (Birontal) terhadap peserta didik kelas IX sebuah sekolah, pada awal sesi Nilai: Akar kehidupan, saya mengajukan pertanyaan apersepsi, “Apa yang terlintas dalam pikiranmu, ketika mendengar kata Nilai?” Jawabannya tidak seperti yang diharapkan tetapi sesuai prediksi: “Nilai ulangan, nilai tugas dan nilai raport.”

Sekolah kami beberapa kali mendapat komplain dari orang tua/wali murid terkait pengelolaan pendidikan. Beberapa orang tua komplain “mengapa rangkuman pembelajaran diberikan secara deskriptif dan panjang.” Para orang tua membandingkan rangkuman di sekolah dengan rangkuman di Bimbingan Belajar yang singkat dan padat, lebih sebagai jawaban atas kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Beberapa orang tua komplain “mengapa nilai raport anaknya tidak sesuai dengan kumulasi nilai ulangan, yang menyebabkan anaknya tidak masuk tiga besar, lima besar, atau sepuluh besar.” Beberapa lagi komplain “mengapa guru melakukan begitu banyak ulangan, yang menyebabkan anaknya sangat terbebani.”
Beberapa alumni secara terus terang mengatakan tidak menyekolahkan anaknya ke almamaternya, karena pertimbangan bahasa pengantar. “Di sekolah itu bahasa pengantarnya bahasa Inggris, karena itu saya menyekolahkan anak saya di sana.”
Jawaban peserta didik, komplain orang tua/wali murid dan pertimbangan alumni di atas adalah gambaran/ikhtisar/profil hasil pendidikan yang diharapkan. Gambaran pendidikan oleh peserta didik dan orang tua/wali murid adalah nilai di atas kertas. Sementara gambaran pendidikan oleh alumni adalah kegunaan (utility). Pendidikan direduksi menjadi sekedar nilai di atas kertas dan aspek kegunaan.
Situasi ini menjadi kencenderungan umum. “Sekarang ini orang cenderung melihat tujuan pendidikan terlalu berlebihan dalam rangka utilitarian (serba keguanaan melulu). Akibatnya, nilai-nilai manusiawi yang ada dalam suatu bidang studi memudar dalam kesadaran murid. Kenyataan ini gampang memudarkan nilai-nilai dan tujuan pendidikan humanistik.”
Utilitarian dalam konteks ini didefenisikan sebagai orang-orang yang menganut paham utility (utilitarianisme). Merriam Webster’s 11th Collegiate Dictionary menjelaskan utilitarianisme sebagai: “a doctrine that the useful is the good and that the determining consideration of right conduct should be the usefulness of its consequences.” (Sebuah ajaran yang mengatakan bahwa yang baik adalah yang berguna, dan sebagai konsekuensinya pertimbangan untuk menentukan kebenaran harus berdasarkan kegunaan.) Dalam konteks sekolah, proses pembelajaran dan program-program yang baik adalah yang berguna.
Sangat berbeda dengan paham utilitarian di atas, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan pendidikan secara komprehensif bahwa pendididikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak atau kepribadian bangsa. Undang-undang meletakan pengembangan kompetensi dan pembentukan watak (kepribadian) atau sekarang disebut sebagai Pendidikan Karakter pada tingkat kepentingan yang sama. Keduanya harus mendapatkan perhatian yang sama. Demikian juga tujuan pendidikan. Undang-Undang yang sama menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Senada dengan itu, Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, Gravissimium Educationis (GE) menyatakan, “berdasarkan tugasnya, sekolah membina bakat-bakat intelektual, mengantar ke dalam warisan budaya, mengembangkan kepekaan terhadap nilai-nilai, dan mempersiapkan kehidupan profesi.”  Secara lebih tegas Kitab Hukum Kanonik (KHK)  menyatakan pendidikan yang sejati harus meliputi pembinaan utuh dari pribadi manusia.
Regulasi Negara dan Ajaran Gereja tentang pendidikan melihat pembentukan kepribadian (kompetensi dan karakter) sebagai bagian hakiki dari pendidikan. Keduanya perlu mendapat perhatian yang seimbang, agar mencapai hasil yang seimbang pula. Pada titik ini, ada kesenjangan dengan paradigma utilitarian. Kesenjangan inilah yang  menggugah penulis untuk mengangkat tema Arus Utilitarian dan Pendidikan Karakter untuk dibahas.

STATUS QUETIONIS
Dalam hubungan dengan tema tulisan ini, kurang lebih ada tiga persoalan mendasar yang dihadapi sekolah dalam pengelolaan pendidik, yakni:
1.      Orang tua/wali murid dengan paradigma utilitarian, melihat pendidikan semata-mata tempat untuk mendapatkan ijazah dengan transkrip nilai (angka) yang tinggi agar bisa melanjutkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi favorit tanpa tes atau bisa mendapatkan pekerjaan pada perusahaan atau lembaga yang baik.
2.      Orang tua/wali murid menuntut sekolah agar berparadigma utilitarian. Sekolah dituntut menjadi tempat mempersiapkan anak untuk ulangan, ujian, melanjutkan study dan atau kerja. Dengan ancaman terselubung jika tidak dituruti sekolah akan ditinggalkan. 
3.      Sekolah yang takut “bayangan” kehilangan peminat baru menjadi sekolah utilitarian, yang mereduksi proses pembelajaran menjadi persiapan untuk ulangan dan ujian, remidial dan pengayaan sekedar menjadi sarana untuk “mengatrol” nilai, program-program unggulan sebagai sarana promosi, dll. Keputusan dan kebijakan sekolah diambil dengan mempertimbangkan faktor komplain orang tua/wali murid dan penerimaan peserta didik baru.
Ketiga persaolan di atas disebabkan oleh paradigma utilitarian. Berhadapan dengan itu, yang perlu dilakukan sekolah adalah meredefenisi identitasnya dan membangun kembali  dream profil lulusannya. Karena itu status quetionis yang bisa dibangun di atas ketiga persoalan mendasar ini adalah: profil lulusan seperti apakah yang dicita-citakan? Apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkan cita-cita itu?

MENETAPKAN PROFIL LULUSAN
Patut kita akui bahwa “sistem pendidikan di Indonesia tidak memiliki tradisi merumuskan lulusan yang diidealkan. Yang sering dilakukan adalah merumuskan tujuan berupa kemampuan-kemampuan yang ingin dicapai. Akibatnya penyelenggara maupun pengelola pendidikan di Indonesia tidak secara sistemik didorong untuk berpikir mengenai profil manusia Indonesia yang diidealkan.”
Kendati demikian, dalam menghadapi arus utilitarian ini pengelola dan penyelenggara pendidikan perlu merumuskan profil lulusan yang diidealkan. Yayasan dan sekolah secara bersama-sama harus merumuskan sedetail mungkin profil murid dan lulusan yang diidealkan. Bagaimana kualitasnya dan apa saja indikator.
Profil murid dan lulusan yang diidealkan dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan tujuan. Semakin jelas dan detail perumusan ini, kemungkinan perwujudannya akan semakin tinggi, dibanding sebaliknya. Visi, misi dan tujuan ini menjadi the ultimated goal yang akan dicapai oleh sekolah maupun yayasan. Karena itu wajib hukumnya bagi seluruh civitas academica untuk bersepaham, melaksanakan tanggungjawabnya menuju ke satu arah yang sama. Seluruh kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler diarahkan pada visi, misi dan tujuan sekolah itu.
Pada titik ini, perlu disadari bersama, bahwa profil murid dan lulusan yang kita rumuskan bukan satu-satunya yang terbaik. Ada profil lain yang juga baik atau mungkin dari sudut pandang berbeda lebih baik. Karena itu perlu dibangun kesepahaman dan komitmen bahwa yang hendak kita capai adalah “profil lulusan kita” dan bukan yang lain. Jika semua pihak mengarah pada satu titik yang sama, proses pencapaian akan semakin mudah dan cepat.
Dunia bisnis mengenal ungkapan: “Find the wrong person in the bus and kick them out. Ungkapan ini mungkin tidak cocok untuk dunia pendidikan, tetapi patut menjadi pertimbangan dalam mengelola SDM dan rekrutmen. Orang yang tepat, di tempat yang tepat, dengan motivasi yang sesuai menjadi modal utama dalam mewujudkan visi, misi dan tujuan.
Penetapan profil murid dan lulusan yang diidealkan, kesepahaman dan komitmen bersama seluruh civitas academica ini menjadi modal utama bagi lembaga pendidikan agar tidak hanyut dalam utilitarian. Keberlangsungan sekolah kita tidak tergantung pada keterbukaan kita untuk mengakomodir kemauan orang tua/wali murid, melainkan pada kesetiaan kita untuk “menjaga kualitas murid dan lulusan sekolah kita.”

MENETAPKAN RENCANA STRATEGIS
Pertanyaan mendasar setelah itu adalah apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan profil murid maupun lulusan yang diidealkan itu? Satu-satunya jawaban adalah rencana strategis. Rencana strategis ini bertitik tolak dari profil murid dan lulusan yang diidealkan itu. Rencana strategis ini, kurang lebih meliputi hal-hal berikut ini:
1.      Kurikulum
Kurikulum merupakan “cetak biru” proses pendidikan di sekolah. Kurikulum bukan sekedar daftar mata pelajaran serta alokasi waktu, melainkan suatu dokumen politis ideologis yang memuat desain pendidikan. Karena itu kurikulum secara eksplisit memuat seluruh karya pendidikan di sekolah, baik intrakurikuler, kokurikuler maupun ekstrakurikuler.
Penyusunan rencana strategis di bidang kurikulum harus dengan kesadaran penuh bahwa pendidikan meliputi seluruh aspek kepribadian manusia (manusia secara utuh), baik kompetensi maupun watak dan kepribadiannya, baik intelektual maupun karakternya. Dengan demikian muatan kurikulum meliputi seluruh aspek pendidikan.

2.      Pembelajaran dan Pendampingan di luar kelas.
Aktivitas Pembelajaran dan pendampingan murid di luar kelas adalah inti dari aktivitas pendidikan di sekolah. Interaksi pembelajaran di dalam kelas memfasilitasi perkembangan intelektual dan watak kepribadian murid. Perkembangan intelektual murid ditentukan oleh pengalaman belajar mereka. Pengalaman belajar murid ditentukan oleh pengaturan yang dilakukan oleh seorang guru. Yang dimaksudkan pengaturan oleh guru, meliputi:
a.       Pengaturan bahan yang dipelajari: tingkat kedalaman dan keluasan pembahasan, ketepatan/validitas bahan yang dipelajari;
b.      Urutan pembahasan: dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, serta pendalaman pada aspek-aspek tertentu dari materi yang dipelajari dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan atau relevansinya;
c.       Cara murid bersama guru membahas materi pembelajaran: apakah guru memberikan penjelasan terus menerus, murid mendalami materi secara mandiri atau berkelompok, pembahasan hanya melulu teoritis atau melibatkan pengamatan/eksperimen;
d.      Tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh murid: apakah murid cukup mendengarkan dan mencatat saja atau mereka diminta membaca artikel tertentu, murid diminta melakukan suatu observasi, murid ditugaskan menulis suatu esai, atau murid diminta melakukan presentasi;
e.       Media pembelajaran: apakah cukup dengan papan tulis dan kapur saja, menggunakan media peraga menarik, menggunakan media audiovisual, atau menggunakan sumber-sumber yang tersedia di internet;
f.       Pengukuran perkembangan kemampuan murid: apakah dengan tes pilihan danda saja, tes uraian, hasil karya, portofolio, atau dengan kinerja.
Semua ini dilakukan oleh guru secara otonom. Bahkan boleh dikatakan guru memiliki hak prerogatif untuk menentukan bagaimana melakukannya. Karena itu dalam menentukan semua ini guru dalam kesadaran penuh melakukan karya pendidikan yang menyentuh seluruh aspek kepribadian manusia.
3.      Pengembangan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, pendidik dan tenaga kependidikan membutuhkan “ongoing formation,” pembentukan terus menerus sepanjang hidup. Hal ini dilakukan baik sebagai upaya peningkatan/ pengembangan kompetensi maupun sebagai penyegaran.
Proses ini terdengar membantu pendidik maupun tenaga kependidikan untuk berkembang namun tidak semua pihak terbuka untuk melakukannya. Pola pikir senior-junior maupun bayang-bayang purnabhakti bisa menjadi alasan bagi pribadi tertentu untuk menghidari ongoing formation ini. Karena itu motivasi dari pimpinan sekolah dalam bentuk pembangun kesadaran akan pentingnnya pengembangan diri perlu terus dilakukan.

4.      Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan hal penting dalam managemen kerja. PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 55 yang menyatakan penyelenggaraan pendidikan perlu dipantau, disupervisi, dievaluasi, dan dilaporkan. Secara lebih operasional Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan, pada lampiran point C.2.c mengatakan evaluasi program kerja tahunan secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, pada akhir tahun anggaran.
Monitoring dan evaluasi terus dilakukan untuk menjamin kesinambungan antara perencanaan, proses dan hasil. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan melalui: supervisi, penilaian, rapat rutin bulanan, rapat kerja tahunan maupun laporan.

SIMPULAN
Hakikat dari pendidikan adalah pengembangan kompetensi dan pembentukan karakter. Spencer melihat pengetahuan dan keterampilan sebagai kompetensi yang kelihatan dan mudah diintervensi. Karena itu kompetensi ini mudah untuk dikuasai. Sementara itu karakter atau kepribadian merupakan kompetensi yang tersembunyi (hidden) dan sulit untuk diintervensi. Karena itu pengembangan kompetensi ini membutuhkan waktu yang lebih lama, perhatian yang lebih besar dan terutama kesetiaan untuk melakukannya.
Karena kompetensi pengetahuan dan keterampilan itu mudah diintervensi dan terlihat maka lebih mudah untuk melakukan penilaian. Maka dalam proses, guru, orang tua/wali murid maupun masyarakat umum bisa “terjebak” untuk lebih mengarahkan perhatian ke kompetensi ini. Hal ini diperkuat oleh kebanyakan pertimbangan, baik untuk memasuki dunia kerja, melanjutkan pendidikan maupun prestise, lebih pada kompetensi yang kelihatan ini.
Keterjebakan ini membawa serta dampak negatif yang tidak kecil. Para murid lulus sebagai pribadi yang memiliki pengetahuan yang luas, keterampilan yang dapat diandalkan namun tidak diimbangi dengan kepribadian kuat. Para murid tumbuh dengan “kepala yang  besar” namun “hati yang kerdil.” Banyak peyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat yang timbul sebagai akibat dari situasi ini. Seperti: kekerasan, korupsi, intoleransi, dll.
Di sini Lembaga Pendidikan (Formal) memegang peran sentral. Negara telah mendefenisikan pendidikan secara komprehensif, mengembangkan kompetensi dan membentuk kepribadian. Peran lembaga pendidikan menetapkan arah pengelolaan pendidikannya sesuai dengan defenisi pemerintah ini. Kesetiaan pada hakikat pendidikan inilah yang menjamin kelansungan lembaga pendidikan. Masukan orang tua/wali murid sebagai stakeholder pendidikan perlu didengarkan tetapi harus diverifikasi agar tidak bertentangan dengan hakikat pendidikan.
Indikator untuk menentukan apakah masukan itu sesuai atau tidak dengan hakikat pendidikan adalah profil murid dan lulusan ideal yang telah ditetap sekolah. Jika berada pada koridor yang sama maka diterima dan ditindaklanjuti, tetapi jika berada pada koridor yang berbeda, maka didengarkan dan diberikan pemahaman yang perlu.






DAFTAR PUSTAKA
Prakash Gujarat Sahity, “Paradigma Pedagogi Reflektif, Mendampingi Peserta Didik menjadi Cerdas & Berkarakter, (Yogyakarta: Kanisius, 2012)
Merriam Webster’s 11th Collegiate Dictionary
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dokumen Konsili Vatikan II, Gravissimium Educationis, (Jakarta: Dokpen KWI)
Sekretariat KWI, Kitab Hukum Kanonik, (Jakarta: Obor, 1991)
Paul Suparno, dkk, Lembaga Pendidikan Katolik Dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2017)
Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Enterpreneurship: Menjadi Pebisnis Ulung, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009)
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan

Sistem Manajemen Pendidikan Yayasan Lembaga Miryam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar