Paus Benedictus XVI dalam surat
apostoliknya Motu Proprio Data (Pintu
Kepada Iman) mencanangkan 11 Oktober 2012 sampai 24 November 2013 sebagai Tahun
Iman. Pencanangan ini dilatarbelakangi oleh sebuah keprihatinan: tindakan atau
perilaku seseorang lebih mempertimbangkan implikasi sosial, legal, dan politik dari pada perwujudan iman.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa umat manusia telah terbawa dalam alam pikiran
sekular. Karena itu dalam Tahun Iman ini Paus Bendictus menghimbau umat beriman
pada umumnya, dan umat Katolik pada khususnya untuk menjadikan ‘iman’ sebagai inspirasi
dalam hidup dan karya.
Kenyataan yang disampaikan Paus Benedictus
ini sungguh realitas kehidupan beragama zaman kita ini. Iman diletakan dalam ‘kotak’
yang dinamakan Agama. Sementara ‘Agama’ itu sendiri ‘dibonsai’ menjadi ke
Gereja setiap hari Minggu, mengikuti kegiatan di lingkungan/kring/paroki
lainnya. Selesai. Karena itu orang kemudian membuat dikotomi-dikotomi. Karya
dipisahkan dari kehidupan beragama. Karya adalah urusan pekerjaan dan
profesionalisme. Sedangkan doa/sembahyang adalah urusan agama. “Di kantor saya
adalah orang profesional, di paroki, lingkungan, kring saya adalah umat beriman.”
Di sisi lain kewajiban beragama
dilaksanakan sebagai sekedar ritual yang selesai di Gereja atau rumah ibadat lainnya.
Hari Minggu saya memiliki kewajiban untuk ke Gereja, mengikuti perayaan
Ekaristi. Malam Minggu ada kegiatan di lingkungan/Kring. Selesai. Kendati pada
akhir perayaan ekaristi (dan kadang dalam ibadat lainnya) selalu ada
pengutusan, “Pergilah, kita diutus.” Pertanyaannya: seberapa dalam kalimat
pengutusan itu menusuk batin kita yang mengikuti perayaan ekaristi?
Paus Benedictus XVI mendorong umat beriman
untuk merubuhkan tembok dikotomi ini. Iman dan karya harus bisa berjalan
seiring. Bagaimana caranya? Meletakan iman sebagai dasar atau landasan bagi
dalam karya. Dengan kata lain iman menjadi inspirasi karya kita. “Saya berkarya tidak hanya untuk memenuhi
kebutuhan manusiawi saya, tetapi lebih dari itu untuk melaksanakan tugas
perutusan yang Tuhan berikan kepada saya.”
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim
ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku
telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi
bangsa-bangsa” (Yeremia 1:5) Tuhan menciptakan kita pribadi-demi pribadi. Tuhan
telah menetapkan tugas yang harus kita laksanakan di dunia. Menjadi Guru,
menjadi Karyawan, menjadi Politisi, Lawyer, dan pekerjaan lainnya adalah
pengejahwantahan rencana Tuhan terhadap diri kita.
Dengan demikian yang diharapkan Paus Benedictus XVI adalah kesadaran bahwa
karya (pekerjaan) memiliki nilai rohani. Pekerjaan atau karya merupakan
perwujudan iman. Pekerjaan adalah sebuah panggilan hidup. Jika kesadaran ini
telah dibangun, maka orientasi dalam bekerja pun akan bergeser. Orang tidak lagi melihat
pekerjaan sebagai karier melainkan sebagai mutiara berharga (bdk Matius
13:44-46). Orang akan meninggalkan semua yang lain demi mutiara yang berharga
itu.
Nasihat Santu Yakobus mungkin tepat untuk
dijadikan penutup tulisan ini. “Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu
ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia:
"Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan
menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku”," (Yakobus 2:18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar