Kamis, 25 Februari 2016

JOKOWI DAN REVOLUSI MENTAL (2)


PR terberat (dan tentu saja penting) Jokowi-JK tiga tahun ke depan adalah merevolusi mental masyarakat Indonesia. Dengan nada agak pesimis, Kompas edisi Senin 20 Juni 2011, hal 1 mengatakan “Kerusakan moral bangsa ini sudah dalam tahap yang sangat mencemaskan karena terjadi hampir di semua lini, baik di birokrasi pemerintah, aparat penegak hukum, maupun masyarakat umum. Jika kondisi ini dibiarkan, negara bisa menuju ke arah kehancuran...” Senada dengan itu, editorial Media Indonesia, Kamis 29 Juni 2014 bahkan menegaskan tanpa revolusi mental Indonesia bakal menjadi ‘Negara gagal’.
Kendati kedua media besar ini tidak memberikan solusi bagaimana caranya agar Indonesia bisa terhindar dari kehancuran dan atau kegagalan sebagai negara, persoalan dan ancaman yang disampaikan adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri. Arnold Toynbee seperti yang dikutip Thomas Lickona dalam bukunya Character Matters menandaskan, “Dari dua puluh satu peradapan dunia yang dapat dicatat, sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan moral dari dalam.” Maka ajakan Capres Jokowi untuk Restorasi Indonesia dan Revolusi mental bersifat sangat mendasar dan mendesak.
Persoalannya, dari mana dan dengan chanel apa revolusi mental masyarakat dimulai?
Pertanyaan ini sangat patut diajukan mengingat permasalahan yang muncul di masyarakat sebagai
akibat dari dekadensi mental begitu kompleks. Sebut saja, mental instan, lemahnya daya juang, mementingkan hasil-mengabaikan proses, premanisme, primordialisme agama-suku, dan masih banyak lagi.
Thomas Lickona mengatakan ada dua nilai fundamental yang harus diperhatikan yakni rasa hormat (respect) dan tanggung jawab (Responsibility). Revolusi mental masyarakat bisa dimulai pada dua nilai ini.
Revolusi untuk merevitalisasi nilai ‘rasa hormat’ akan menyelesaikan banyak persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi jika nilai rasa hormat pertama-tama ditujukan kepada Tuhan sebagai yang empu-Nya manusia dan alam semesta, maka persoalan-peroslan horisontal yang diakibatkan oleh intoleransi niscaya tidak terjadi.
Revolusi ini diarahkan untuk membangun kesadaran (awarenes) masyarakat bahwa manusia dan alam semesta dengan segala keanekaragamannya diciptakan oleh Tuhan, maka menghormati keanekaragaman merupakan sebuah penghormatan kepada Yang Menciptakan keaneragaman tersebut. Jika Revolusi Jokowi hingga mencapai titik ini maka persoalan seperti penyegelan rumah ibadat, sulitnya mendapatkan ijin pembangungan rumah ibadat, dan persoalan intoleransi keagamaan lainnya tidak akan terjadi.
Demikian juga yang berhubungan dengan primordialisme suku/bangsa. Kita bisa memilih profesi guru, dokter, pengacara, dll. Namun kita tidak bisa memilih menjadi orang jawa atau Sumatra, menjadi orang Flores atau Sulawesi, menjadi orang keturunan Cina atau Papua, menjadi orang Timor atau Maluku. Ini adalah sebuah keterberian yang tidak bisa kita tolak. Ini adalah karya Tuhan. Jika kita percaya pada Tuhan, dan mengakui semua yang ada adalah karya tangan-Nya, maka satu-satunya tugas kita adalah hormat.
Kesadaran tersebut di atas juga diharapkan akan membawa serta penghormatan terhadap pribadi manusia. Pembunuhan, bunuh diri, pemerkosaan, perdagangan manusia, pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan persoalan sejenisnya adalah gambaran rendahnya rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi. Jika semua masyarakat bangsa ini memiliki kesadaran yang sama seperti yang tersebut di atas, hemat saya tidak ada lagi perdebatan tentang hukuman mati. Semua akan sepakat ‘menolak hukuman mati’.
Rasa hormat kepada Tuhan yang berimplikasi rasa hormat kepada keanekaragaman agama dan suku serta pribadi manusia sudah sepatutnya mengantar pribadi-pribadi ‘yang terhormat’ untuk menghormati lingkungan alam di sekitarnya. Pembabatan hutan, eksploitasi sumber daya alam, eksploitasi hewan-hewan tertentu untuk kepentingan ekonomi (topeng monyet, gajah, dll) dan persoalan-persoalan sejenis diharapkan dapat teratasi. Global warming pada tempat pertama pantas direfleksikan sebagai teguran dari Yang Mahakuasa atas penyalahgunaan wewenang manusia atas alam semesta seperti yang tertulis dalam Genesis.
Yang terakhir dari nilai fundamental rasa hormat ini adalah rasa hormat terhadap hak milik orang lain. Jika ‘itu’ adalah hak milik negara maka serahkan kepada negara, jika ‘itu’ hak milik rakyat maka serahkan kepada rakyat, jika ‘itu’ milik tetanggal maka serahkanlah kepada tetangga, dst. Jika semua ini terbangun maka niscaya tidak ada korupsi, tidak ada perampokan, tidak ada maling, tidak akan ada penjarahan, semua akan saling menjaga dan melindungi.
Nilai fundamental kedua yang harus dibangun Jokowi dalam revolusi mental masyarakat adalah tanggung jawab (responsibility).  Tanggung jawab akan menjadi dasar nilai-nilai yang dijujunng tinggi di masyarakat namun sangat sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, disiplin, kejujuran, rasa memiliki, dll.
Masyarakat yang bertanggung jawab akan meluangkan waktu untuk datang ke kantor Samsat dan mengikuti semua prosedur untuk mendapatkan Surat Ijin Mengemudi. Masyarakat yang bertanggung jawab siap untuk disidang di pengadilan ketika ditilang aparat karena tidak mentaati peraturan lalulintas dan tidak menghiraukan tawaran ‘oknum aparat’ untuk diselesaikan di tempat kejadian.
Pada tingkatan yang lebih tinggi masyarakat yang bertanggung jawab akan peka terhadap problem-problem bangsa dan pada tatarannya sendiri-sendiri menempatkan diri pada posisi sebagai solusi dan bukan trouble maker atau yang memperkeruh persoalan. Masyarakat kita bisa dikelompokkan sebagai masyarakat sadar hukum, sadar politik, sadar ekonomi, sadar pendidikan, dll, pada tatarannya sendiri-sendiri bertanggung jawab untuk memajukan bangsa dan atau menemukan solusi dalam bidangnya masing-masing.
Revolusi masyarakat minimal menyentuh 2 (dua) nilai fundamental ini. Nilai-nilai lainnya bisa ditumbuhkembangkan setelah kedua nilai ini berakar dalam diri masyarakat. Namun yang tetap menjadi persoalan sampai sekarang adalah melalui chanel apa revolusi mental masyarakat dilaksanakan. Revolusi mental 3 (tiga) komponen bangsa dalam tulisan sebelumnya relatif lebih mudah karena lebih terorganisir.
Namun jika restorasi Indonesia dan Revolusi mental ini oleh semua pihak dinilai sebagai hal yang sangat dibutuhkan dan sangat mendesak maka gerakan ini menjadi gerakan seluruh lapisan masyarakat. Masing-masing kita dengan cara kita masing-masing sesuai dengan konteks di mana kita berada. Namun jika hendak dilakukan secara lebih terorganisir maka jalur agama adalah salah satu jalan yang ideal.

Ilmuwan Romawi, Marcus Tulius Cicero (106-43 SM) mengatakan “Kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter kuat warganya.” Mari kita sonsong Indonesia sejahtera dengan pembangunan mental masyarakatnya. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya,” kata W. R. Supratman, dalam lagi Kebangsaan Indonesia Raya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar