Dalam
sebuah Pembinaan Rohani dan Mental
(Birontal) terhadap peserta didik kelas IX sebuah sekolah, pada awal sesi Nilai:
Akar kehidupan, saya mengajukan pertanyaan apersepsi, “Apa yang terlintas dalam pikiranmu, ketika
mendengar kata Nilai?” Jawabannya tidak seperti yang diharapkan tetapi
sesuai prediksi: “Nilai ulangan, nilai tugas dan nilai raport.”
Sekolah
kami beberapa kali mendapat komplain dari orang tua/wali murid terkait
pengelolaan pendidikan. Beberapa orang tua komplain “mengapa rangkuman pembelajaran diberikan secara deskriptif dan panjang.”
Para orang tua membandingkan rangkuman di sekolah dengan rangkuman di Bimbingan
Belajar yang singkat dan padat, lebih sebagai jawaban atas
kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Beberapa orang tua komplain “mengapa nilai raport anaknya tidak sesuai
dengan kumulasi nilai ulangan, yang menyebabkan anaknya tidak masuk tiga besar,
lima besar, atau sepuluh besar.” Beberapa lagi komplain “mengapa guru melakukan begitu banyak
ulangan, yang menyebabkan anaknya sangat terbebani.”
Beberapa
alumni secara terus terang mengatakan tidak menyekolahkan anaknya ke
almamaternya, karena pertimbangan bahasa pengantar. “Di sekolah itu bahasa pengantarnya bahasa Inggris, karena itu saya
menyekolahkan anak saya di sana.”
Jawaban
peserta didik, komplain orang tua/wali murid dan pertimbangan alumni di atas adalah
gambaran/ikhtisar/profil hasil pendidikan yang diharapkan. Gambaran pendidikan
oleh peserta didik dan orang tua/wali murid adalah nilai di atas kertas.
Sementara gambaran pendidikan oleh alumni adalah kegunaan (utility). Pendidikan
direduksi menjadi sekedar nilai di atas kertas dan aspek kegunaan.
Situasi
ini menjadi kencenderungan umum. “Sekarang ini orang cenderung melihat tujuan
pendidikan terlalu berlebihan dalam rangka utilitarian (serba keguanaan
melulu). Akibatnya, nilai-nilai manusiawi yang ada dalam suatu bidang studi
memudar dalam kesadaran murid. Kenyataan ini gampang memudarkan nilai-nilai dan
tujuan pendidikan humanistik.”
Utilitarian
dalam konteks ini didefenisikan sebagai orang-orang yang menganut paham utility
(utilitarianisme). Merriam Webster’s 11th Collegiate Dictionary
menjelaskan utilitarianisme sebagai: “a
doctrine that the useful is the good and that the determining consideration of
right conduct should be the usefulness of its consequences.” (Sebuah ajaran
yang mengatakan bahwa yang baik adalah yang berguna, dan sebagai konsekuensinya
pertimbangan untuk menentukan kebenaran harus berdasarkan kegunaan.) Dalam
konteks sekolah, proses pembelajaran dan program-program yang baik adalah yang
berguna.
Sangat
berbeda dengan paham utilitarian di atas, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan
pendidikan secara komprehensif bahwa pendididikan nasional berfungsi
untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak atau kepribadian bangsa. Undang-undang meletakan pengembangan
kompetensi dan pembentukan watak (kepribadian) atau
sekarang disebut sebagai Pendidikan Karakter pada tingkat kepentingan yang sama.
Keduanya harus mendapatkan perhatian yang sama. Demikian
juga tujuan pendidikan. Undang-Undang yang sama menegaskan bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Senada
dengan itu, Deklarasi tentang Pendidikan Kristen, Gravissimium
Educationis (GE) menyatakan, “berdasarkan tugasnya, sekolah membina bakat-bakat
intelektual, mengantar ke dalam warisan budaya, mengembangkan kepekaan terhadap
nilai-nilai, dan mempersiapkan kehidupan profesi.” Secara lebih tegas Kitab Hukum Kanonik (KHK) menyatakan
pendidikan yang
sejati harus meliputi pembinaan utuh dari pribadi manusia.
Regulasi
Negara dan Ajaran Gereja tentang pendidikan melihat pembentukan kepribadian
(kompetensi dan karakter) sebagai bagian hakiki dari pendidikan. Keduanya perlu
mendapat perhatian yang seimbang, agar mencapai hasil yang seimbang pula. Pada
titik ini, ada kesenjangan dengan paradigma utilitarian. Kesenjangan inilah
yang menggugah penulis untuk mengangkat
tema Arus Utilitarian dan Pendidikan
Karakter untuk dibahas.
STATUS QUETIONIS
Dalam
hubungan dengan tema tulisan ini, kurang lebih ada tiga persoalan mendasar yang
dihadapi sekolah dalam pengelolaan pendidik, yakni:
1.
Orang tua/wali murid dengan
paradigma utilitarian, melihat pendidikan semata-mata tempat untuk mendapatkan
ijazah dengan transkrip nilai (angka) yang tinggi agar bisa melanjutkan
pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi favorit tanpa tes atau bisa
mendapatkan pekerjaan pada perusahaan atau lembaga yang baik.
2.
Orang tua/wali murid
menuntut sekolah agar berparadigma utilitarian. Sekolah dituntut menjadi tempat
mempersiapkan anak untuk ulangan, ujian, melanjutkan study dan atau kerja.
Dengan ancaman terselubung jika tidak dituruti sekolah akan ditinggalkan.
3.
Sekolah yang takut “bayangan”
kehilangan peminat baru menjadi sekolah utilitarian, yang mereduksi proses
pembelajaran menjadi persiapan untuk ulangan dan ujian, remidial dan pengayaan
sekedar menjadi sarana untuk “mengatrol” nilai, program-program unggulan
sebagai sarana promosi, dll. Keputusan dan kebijakan sekolah diambil dengan
mempertimbangkan faktor komplain orang tua/wali murid dan penerimaan peserta
didik baru.
Ketiga
persaolan di atas disebabkan oleh paradigma utilitarian. Berhadapan dengan itu,
yang perlu dilakukan sekolah adalah meredefenisi identitasnya dan membangun
kembali dream profil lulusannya. Karena itu status quetionis yang bisa dibangun di atas ketiga persoalan
mendasar ini adalah: profil lulusan seperti apakah yang
dicita-citakan? Apa yang harus kita lakukan untuk mewujudkan
cita-cita itu?
MENETAPKAN PROFIL LULUSAN
Patut
kita akui bahwa “sistem pendidikan di Indonesia tidak memiliki tradisi
merumuskan lulusan yang diidealkan. Yang sering dilakukan adalah merumuskan
tujuan berupa kemampuan-kemampuan yang ingin dicapai. Akibatnya penyelenggara
maupun pengelola pendidikan di Indonesia tidak secara sistemik didorong untuk
berpikir mengenai profil manusia Indonesia yang diidealkan.”
Kendati
demikian, dalam menghadapi arus utilitarian ini pengelola dan penyelenggara
pendidikan perlu merumuskan profil
lulusan yang diidealkan. Yayasan dan sekolah secara bersama-sama harus merumuskan
sedetail mungkin profil murid dan lulusan yang diidealkan. Bagaimana kualitasnya
dan apa saja indikator.
Profil
murid dan lulusan yang diidealkan dirumuskan dalam bentuk visi, misi dan
tujuan. Semakin jelas dan detail perumusan ini, kemungkinan perwujudannya akan
semakin tinggi, dibanding sebaliknya. Visi, misi dan tujuan ini menjadi the ultimated goal yang akan dicapai
oleh sekolah maupun yayasan. Karena itu wajib hukumnya bagi seluruh civitas academica untuk bersepaham,
melaksanakan tanggungjawabnya menuju ke satu arah yang sama. Seluruh kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler diarahkan pada visi, misi dan
tujuan sekolah itu.
Pada
titik ini, perlu disadari bersama, bahwa profil murid dan lulusan yang kita
rumuskan bukan satu-satunya yang terbaik. Ada profil lain yang juga baik atau
mungkin dari sudut pandang berbeda lebih baik. Karena itu perlu dibangun
kesepahaman dan komitmen bahwa yang hendak kita capai adalah “profil
lulusan kita” dan bukan yang lain. Jika semua pihak mengarah pada satu
titik yang sama, proses pencapaian akan semakin mudah dan cepat.
Dunia
bisnis mengenal ungkapan: “Find the wrong
person in the bus and kick them out.”
Ungkapan ini mungkin tidak cocok untuk dunia pendidikan, tetapi patut
menjadi pertimbangan dalam mengelola SDM dan rekrutmen. Orang yang tepat, di
tempat yang tepat, dengan motivasi yang sesuai menjadi modal utama dalam
mewujudkan visi, misi dan tujuan.
Penetapan
profil murid dan lulusan yang diidealkan, kesepahaman dan komitmen bersama
seluruh civitas academica ini menjadi
modal utama bagi lembaga pendidikan agar tidak hanyut dalam utilitarian.
Keberlangsungan sekolah kita tidak tergantung pada keterbukaan kita untuk
mengakomodir kemauan orang tua/wali murid, melainkan pada kesetiaan kita untuk
“menjaga kualitas murid dan lulusan sekolah kita.”
MENETAPKAN RENCANA STRATEGIS
Pertanyaan
mendasar setelah itu adalah apa yang harus dilakukan untuk mewujudkan profil murid
maupun lulusan yang diidealkan itu? Satu-satunya jawaban adalah rencana
strategis. Rencana strategis ini bertitik tolak dari profil murid dan lulusan
yang diidealkan itu. Rencana strategis ini, kurang lebih meliputi hal-hal
berikut ini:
1.
Kurikulum
Kurikulum
merupakan “cetak biru” proses pendidikan di sekolah. Kurikulum bukan sekedar
daftar mata pelajaran serta alokasi waktu, melainkan suatu dokumen politis
ideologis yang memuat desain pendidikan. Karena itu kurikulum secara eksplisit
memuat seluruh karya pendidikan di sekolah, baik intrakurikuler, kokurikuler
maupun ekstrakurikuler.
Penyusunan rencana
strategis di bidang kurikulum harus dengan kesadaran penuh bahwa pendidikan
meliputi seluruh aspek kepribadian manusia (manusia secara utuh), baik
kompetensi maupun watak dan kepribadiannya, baik intelektual maupun
karakternya. Dengan demikian muatan kurikulum meliputi seluruh aspek
pendidikan.
2.
Pembelajaran dan Pendampingan di luar kelas.
Aktivitas Pembelajaran
dan pendampingan murid di luar kelas adalah inti dari aktivitas pendidikan di
sekolah. Interaksi pembelajaran di dalam kelas memfasilitasi perkembangan
intelektual dan watak kepribadian murid. Perkembangan intelektual murid
ditentukan oleh pengalaman belajar mereka. Pengalaman belajar murid ditentukan
oleh pengaturan yang dilakukan oleh seorang guru. Yang dimaksudkan pengaturan
oleh guru, meliputi:
a.
Pengaturan bahan yang
dipelajari: tingkat kedalaman dan keluasan pembahasan, ketepatan/validitas
bahan yang dipelajari;
b.
Urutan pembahasan: dari
yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, serta pendalaman pada
aspek-aspek tertentu dari materi yang dipelajari dengan mempertimbangkan
tingkat kesulitan atau relevansinya;
c.
Cara murid bersama guru
membahas materi pembelajaran: apakah guru memberikan penjelasan terus menerus,
murid mendalami materi secara mandiri atau berkelompok, pembahasan hanya melulu
teoritis atau melibatkan pengamatan/eksperimen;
d.
Tugas-tugas yang harus
dikerjakan oleh murid: apakah murid cukup mendengarkan dan mencatat saja atau
mereka diminta membaca artikel tertentu, murid diminta melakukan suatu
observasi, murid ditugaskan menulis suatu esai, atau murid diminta melakukan
presentasi;
e.
Media pembelajaran:
apakah cukup dengan papan tulis dan kapur saja, menggunakan media peraga
menarik, menggunakan media audiovisual, atau menggunakan sumber-sumber yang
tersedia di internet;
f.
Pengukuran perkembangan
kemampuan murid: apakah dengan tes pilihan danda saja, tes uraian, hasil karya,
portofolio, atau dengan kinerja.
Semua ini
dilakukan oleh guru secara otonom. Bahkan boleh dikatakan guru memiliki hak
prerogatif untuk menentukan bagaimana melakukannya. Karena itu dalam menentukan
semua ini guru dalam kesadaran penuh melakukan karya pendidikan yang menyentuh
seluruh aspek kepribadian manusia.
3.
Pengembangan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Untuk mencapai
tujuan pendidikan yang telah dirumuskan, pendidik dan tenaga kependidikan
membutuhkan “ongoing formation,” pembentukan
terus menerus sepanjang hidup. Hal ini dilakukan baik sebagai upaya
peningkatan/ pengembangan kompetensi maupun sebagai penyegaran.
Proses ini
terdengar membantu pendidik maupun tenaga kependidikan untuk berkembang namun
tidak semua pihak terbuka untuk melakukannya. Pola pikir senior-junior maupun
bayang-bayang purnabhakti bisa menjadi alasan bagi pribadi tertentu untuk
menghidari ongoing formation ini.
Karena itu motivasi dari pimpinan sekolah dalam bentuk pembangun kesadaran akan
pentingnnya pengembangan diri perlu terus dilakukan.
4.
Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan hal penting dalam managemen kerja. PP 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 55 yang menyatakan penyelenggaraan pendidikan perlu
dipantau, disupervisi, dievaluasi, dan dilaporkan. Secara lebih operasional Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan, pada lampiran point
C.2.c mengatakan evaluasi
program kerja tahunan secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam
setahun, pada akhir tahun anggaran.
Monitoring dan
evaluasi terus dilakukan untuk menjamin kesinambungan antara perencanaan, proses
dan hasil. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan melalui: supervisi,
penilaian, rapat rutin bulanan, rapat kerja tahunan maupun laporan.
SIMPULAN
Hakikat dari pendidikan
adalah pengembangan kompetensi dan pembentukan karakter. Spencer melihat pengetahuan dan keterampilan sebagai kompetensi
yang kelihatan dan mudah diintervensi. Karena itu kompetensi ini mudah untuk
dikuasai. Sementara itu karakter atau kepribadian merupakan kompetensi yang
tersembunyi (hidden) dan sulit untuk diintervensi. Karena itu pengembangan
kompetensi ini membutuhkan waktu yang lebih lama, perhatian yang lebih besar
dan terutama kesetiaan untuk melakukannya.
Karena kompetensi
pengetahuan dan keterampilan itu mudah diintervensi dan terlihat maka lebih
mudah untuk melakukan penilaian. Maka dalam proses, guru, orang tua/wali murid
maupun masyarakat umum bisa “terjebak” untuk lebih mengarahkan perhatian ke
kompetensi ini. Hal ini diperkuat oleh kebanyakan pertimbangan, baik untuk
memasuki dunia kerja, melanjutkan pendidikan maupun prestise, lebih pada
kompetensi yang kelihatan ini.
Keterjebakan ini
membawa serta dampak negatif yang tidak kecil. Para murid lulus sebagai pribadi
yang memiliki pengetahuan yang luas, keterampilan yang dapat diandalkan namun
tidak diimbangi dengan kepribadian kuat. Para murid tumbuh dengan “kepala
yang besar” namun “hati yang kerdil.”
Banyak peyimpangan dalam kehidupan bermasyarakat yang timbul sebagai akibat
dari situasi ini. Seperti: kekerasan, korupsi, intoleransi, dll.
Di sini Lembaga
Pendidikan (Formal) memegang peran sentral. Negara telah mendefenisikan
pendidikan secara komprehensif, mengembangkan kompetensi dan membentuk
kepribadian. Peran lembaga pendidikan menetapkan arah pengelolaan pendidikannya
sesuai dengan defenisi pemerintah ini. Kesetiaan pada hakikat pendidikan inilah
yang menjamin kelansungan lembaga pendidikan. Masukan orang tua/wali murid
sebagai stakeholder pendidikan perlu didengarkan tetapi harus diverifikasi agar
tidak bertentangan dengan hakikat pendidikan.
Indikator untuk
menentukan apakah masukan itu sesuai atau tidak dengan hakikat pendidikan
adalah profil murid dan lulusan ideal yang telah ditetap sekolah. Jika berada
pada koridor yang sama maka diterima dan ditindaklanjuti, tetapi jika berada
pada koridor yang berbeda, maka didengarkan dan diberikan pemahaman yang perlu.
DAFTAR PUSTAKA
Prakash Gujarat Sahity, “Paradigma
Pedagogi Reflektif, Mendampingi Peserta Didik menjadi Cerdas & Berkarakter,
(Yogyakarta: Kanisius, 2012)
Merriam Webster’s 11th Collegiate Dictionary
Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Dokumen Konsili Vatikan II, Gravissimium Educationis, (Jakarta: Dokpen KWI)
Sekretariat
KWI, Kitab
Hukum
Kanonik, (Jakarta: Obor, 1991)
Paul Suparno, dkk, Lembaga
Pendidikan Katolik Dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius,
2017)
Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto, Enterpreneurship:
Menjadi Pebisnis Ulung, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009)
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Sistem Manajemen
Pendidikan Yayasan Lembaga Miryam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar