Dalam
sebuah Pembinaan Rohani dan Mental
(Birontal) terhadap peserta didik kelas IX sebuah sekolah, pada awal sesi Nilai:
Akar kehidupan, saya mengajukan pertanyaan apersepsi, “Apa yang terlintas dalam pikiranmu, ketika
mendengar kata Nilai?” Jawabannya tidak seperti yang diharapkan tetapi
sesuai prediksi: “Nilai ulangan, nilai tugas dan nilai raport.”
Sekolah
kami beberapa kali mendapat komplain dari orang tua/wali murid terkait
pengelolaan pendidikan. Beberapa orang tua komplain “mengapa rangkuman pembelajaran diberikan secara deskriptif dan panjang.”
Para orang tua membandingkan rangkuman di sekolah dengan rangkuman di Bimbingan
Belajar yang singkat dan padat, lebih sebagai jawaban atas
kemungkinan-kemungkinan pertanyaan. Beberapa orang tua komplain “mengapa nilai raport anaknya tidak sesuai
dengan kumulasi nilai ulangan, yang menyebabkan anaknya tidak masuk tiga besar,
lima besar, atau sepuluh besar.” Beberapa lagi komplain “mengapa guru melakukan begitu banyak
ulangan, yang menyebabkan anaknya sangat terbebani.”
Beberapa
alumni secara terus terang mengatakan tidak menyekolahkan anaknya ke
almamaternya, karena pertimbangan bahasa pengantar. “Di sekolah itu bahasa pengantarnya bahasa Inggris, karena itu saya
menyekolahkan anak saya di sana.”
Jawaban
peserta didik, komplain orang tua/wali murid dan pertimbangan alumni di atas adalah
gambaran/ikhtisar/profil hasil pendidikan yang diharapkan. Gambaran pendidikan
oleh peserta didik dan orang tua/wali murid adalah nilai di atas kertas.
Sementara gambaran pendidikan oleh alumni adalah kegunaan (utility). Pendidikan
direduksi menjadi sekedar nilai di atas kertas dan aspek kegunaan.